Mitos Masuk Angin

“Jangan hujan-hujanan, nanti sakit lho!” Kata-kata ini kerap kita dengar dari orangtua, teman, atau dari tetangga ketika hujan akan atau sedang turun. Ya, hujan-hujanan sangat identik dengan sakit, masuk angin, flu, dsb. Tidak hanya “berlaku” pada anak-anak, tapi juga pada orang dewasa. Benarkah seperti itu?

Ada banyak mitos kesehatan di sekitar kita yang kadung diyakini kebenarannya. Di antaranya mitos masuk angin, kerokan dan angin duduk. Masuk angin sering diasosiasikan dengan kehujanan, begadang (kurang tidur), tugas malam, ataupun perubahan musim (cuaca). Kerokan identik dengan usaha untuk “mengeluarkan angin” dari dalam tubuh. Sedangkan angin duduk sering dihubungkan dengan kematian mendadak tanpa sebab.

Masuk Angin dan Kehujanan

Bagaimana cerita sebenarnya? Mitos masuk angin memang ada benarnya, namun ada pula salahnya. Misal, kita beranggapan bahwa kehujanan bisa menyebabkan masuk angin, demam, batuk, pilek, dan badan linu-linu. Padahal ini adalah gejala khas dari infeksi virus influenza? Apa hubungan antara air hujan dengan virus influenza? Apakah di dalam air hujan terdapat virus influenza? Apakah di balik baju yang basah terdapat segerombolan virus yang siap menyerang? Tentu tidak. Lalu ketika kita usai kehujanan pula sering beberapa di antara kita merasakan perut kembung, kemudian melilit dan akhirnya mengalami diare. Apakah air hujan juga membawa bakteri perut? Apakah baju basah membuat bakteri jahat merembes menembus kulit dan otot? Tentu tidak.

Mengapa kita sakit setelah kehujanan? Apakah kita pernah berpikir bahwa para atlet renang yang hampir 8 jam sehari berada di kolam renang sering masuk angin? Bahkan kita sendiri saat berekreasi ke pantai atau berenang di kolam renang tetap segar bugar. Padahal sama-sama air? Mengapa bisa demikian?

Disiplin ilmu psikoneuroimunologi (PNI) menjelaskan dalil (hadis qudsi) bahwa Allah itu sebagaimana prasangka hamba-Nya. Prasangka adalah dugaan atau persepsi kita. Bila Allah saja wujud dan keberadaan-Nya tergantung kepada cara kita memahami dan memaknainya, apalagi sebuah fenomena dalam kehidupan. Persepsi kita adalah bentuk lain dari doa. Saat tubuh kita kehujanan, lalu kita merasa sengsara dan menganggap akan sakit, maka kemungkinan besar kita akan sakit.

Darimana datangnya ‘doa’ jelek tersebut? Dari informasi yang dicangkokkan ke dalam benak kita. Darimana datangnya informasi itu? Dari pengetahuan yang kita terima sebagai sebuah budaya. Dan budaya tersebut kemudian diwariskan secara turun-temurun. Lalu kita meyakininya sebagai sebuah kebenaran. Dengan demikian kita sudah berburuk sangka terhadap air hujan. Keyakinan bahwa kehujanan akan membuat sakit diterima dan menciptakan teror kecemasan di otak ketika kita mengalaminya. Saat cemas itulah terjadi peningkatan kadar hormon kortisol, sehingga sistem pertahanan tubuh menjadi lemah. Kondisi ini memudahkan kuman atau virus yang tidak diundang masuk dan menggangu sistem tubuh kita. Tanpa disadari, ketakutan dan kecemasan kita telah mengundang mereka untuk “berpesta”.

Darimana mereka datang? Bisa dari lingkungan sekitar, dari orang lain yang kita jumpai, atau bahkan dari antrean virus di sekitar lubang hidung kita yang memang sudah menunggu-nunggu giliran untuk masuk. Sedangkan pada kasus diare atau sakit perut, kuman yang menjadi penyebab bisa saja merupakan bagian dari “kuman baik” yang selama ini hidup dalam harmoni di sistem pencernaan kita. Mereka menjadi tidak terkendali dan “over populasi” ketika sistem pertahanan tubuh kita dilanda kecemasan. Akibatnya mereka lebih mementingkan keselamatan masing-masing. Inilah sebuah gambaran indah tentang manifestasi dan aplikasi sebuah doa. Sebagai sebuah harapan yang sarat dengan praduga, maka doa diefektori atau diijabah justru oleh sistem tubuh kita sendiri, Subhanallah.

Kerokan

Sebenarnya, kerokan termasuk sebuah metode terapi yang telah teruji secara ilmiah. Kerokan dapat digambarkan sebagai upaya untuk merangsang sistem pertahanan tubuh melalui induksi radang lokal. Dengan adanya faktor peradangan maka pembuluh darah akan melebar sesaat sehingga faktor-faktor pertahanan tubuh seperti interferon dan tumor nekrosis aktif kembali. Kondisi ini diharapkan akan membangkitkan ghirah sistem pertahanan tubuh untuk mengontrol keberadaan virus. Bahkan bila virus tersebut dianggap membahayakan, maka sistem pertahanan tubuh yang telah terstimulasi tersebut dapat mengeliminasi dan mendaur-ulang virus tersebut menjadi material biologis yang lebih bermanfaat.

Angin duduk

Angin duduk adalah gejala kelainan otot jantung yang terjadi dalam waktu singkat. Kondisi ini timbul karena kurangnya oksigen, sehingga banyak sel otot jantung mengalami kematian.
Mengapa otot jantung bisa mengalami kekurangan oksigen? Karena pembuluh darah yang membawa darah kaya oksigen ke bagian-bagian otot jantung tersumbat, karena adanya pembentukan “bukit-bukit” di dinding pembuluh darah bagian dalam. Bukit-bukit ini muncul karena adanya luka pada dinding bagian dalam akibat derasnya laju aliran darah serta banyaknya radikal bebas–khususnya yang berasal dari lemak jenuh.

Radikal bebas berbahaya karena sifat kimianya yang labil, sehingga ia cenderung mengambil sebagian elektron atau proton dari sel dinding pembuluh darah agar dirinya menjadi lebih stabil. Akibatnya sel tersebut rusak. Proses kerusakan itu pada gilirannya akan mengundang sistem perbaikan, tetapi bila kerusakan itu terjadi secara berulang maka penambalan yang terjadi akan “membukit”. Karena penyumbatan itu terjadi di pembuluh darah jantung yang bernama koroner, maka penyakitnya disebut jantung koroner. Jadi angin duduk sebenarnya adalah bagian dari gejala penyakit jantung koroner.

(Sumber: http://74.125.153.132/search?q=cache:ddEnGO6H6J4J:tintaungu.wordpress.com/2007/11/12/mitos-mitos-kesehatan-di-sekitar-kita/+mitos+kesehatan&cd=1&hl=id&ct=clnk&gl=id)

0 comments:

Post a Comment